Kebebasan
pers adalah salah satu jenis Hak Asasi Manusia yang paling prinsipil. Kebebasan
pers sendiri merupakan turunan dari kebebasan untuk mngeluarkan pendapat.
Perjuangan akan kebebasan berpendapat (dan pers) selalu menjadi sorotan dunia
dan motor bagi perjuangan hak-hak lainnya. Sejarah mencatat bahwa perjuangan
untuk meraih kebebasan berpendapat sudah dimulai sejak zaman Yunani Kuno. Socrates
dalam sebuah pengadilan pernah berkata, ‘Jika kalian semua hendak melepaskanku
dengan syarat aku harus berhenti menyuarakan pendapatku… Aku harus berkata
kepada kalian, ”Wahai seluruh rakyat Athena, aku lebih baik mematuhi Dewa-Dewa
daripada kalian semua.”’[1]
Lalu, seorang pujangga Eropa yang terkenal, Erasmus Mundus, berkata, “Dalam
sebuah negara bebas, lidah juga harus bebas.”[2] Puncak dari perjuangan untuk
meraih hak kebebasan berpendapat adalah pendeklarasian Universal Declaration
of Human Rights pada tahun 1948. Dalam Pasal 19 Universal Declaration of
Human Rights tercantum bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk
memberikan opini dan berekspresi, termasuk dalam bentuk pers[3].
Sementara
itu, permasalahan kebebasan pers di Indonesia modern sudah mencuat sejak zaman
kolonial. Tercatat bahwa pada tahun 1903, Redaktur surat kabar Nieuwsblad,
J.F. Scheltema, dihukum penjara selama tiga bulan karena mengkritik sikap politik Pemerintah dalam
politik candu[4].
Permasalahan terus berlanjut ketika masa demokrasi terpimpin. Salah satu contoh
pemredelan pers yang paling terkenal pada masa Demokrasi Terpimpin adalah
pembredelan seluruh pers BPS (Barisan Pendukung Sukarnoisme) pada tanggal 23
Februari 1965[5].
Sementara pada masa Orde Baru pembredelan tetap merajalela. Pembredelan
tersebut dilakukan dengan pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Contoh pembredelan pada masa Orde Baru adalah pembredelan harian Sinar
Harapan pada tahun 1986 dan tabloid mingguan Monitor pada tahun 1990[6].
Ketika Orde Baru runtuh dan Indonesia memasuki masa reformasi, kebebasan pers
berangsur-angsur tumbuh kembali. Akan tetapi, masalah kebebasan pers Indonesia
kembali dipertanyakan pasca naiknya Jokowi ke tampuk kursi kepresidenan
Indonesia. Pada akhir tahun 2014 lalu, muncul kasus pencemaran nama baik
Presiden Jokowi[7].
Terlepas dari hak Jokowi untuk mempertahankan nama baiknya, baik sebagai
presiden maupun sebagai pribadi, reaksi Jokowi dinilai kurang tanggap dan
sensitif akan permasalahan tersebut. Lalu pada akhir Maret 2015, dunia pers
Indonesia dihebohkan dengan pemblokiran beberapa media online Islam di
Indonesia. Total, terdapat 22 situs media online Islam yang diblokir.
Pemblokiran tersebut dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) atas permintaan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT)[8].
Sementara alasan pemblokiran tersebut adalah karena situs-situs tersebut
merupakan situs pendukung paham radikalisme ISIS. Akan tetapi, beberapa pihak
menolak alasan tersebut. Agus Soelarto, editor utama aqlislamiccenter.com,
menolak tuduhan bahwa situsnya dan situs-situs lainnya sebagai pendukung paham
radikalisme yang diusung ISIS. “Dengan ini, kami sebagai perwakilan dari
situs-situs yang diblokir, mengajukan protes atas pemblokiran situs-situs kami
karena situs-situs Selasa lalu ” (31
Maret 2015)[9].
Fenomena
perjuangan meraih kebebasan pers merupakan fenomena sosial budaya yang wajar
terjadi di masyarakat. Seperti yang sudah dikatakan, hak kebebasan pers
merupakan salah satu jenis hak asasi, hak yang didapatkan manusia dari Tuhan
Yang Maha Esa sejak manusia dilahirkan. Oleh karena itu, perjuangan meraih
kebebasan pers adalah sesuatu yang bersifat natuur (alami) bagi setiap
manusia yang berusaha memenuhi kodratnya.
Sementara
itu, fenomena pembatasan terhadap kebebasan pers juga merupakan sebuah fenomena
yang wajar. Jika kebebasan pers yang dimiliki dan di-exercise oleh satu
pihak, sedangkan kebebasan pers tersebut dapat mengancam kedudukan atau
kepentingan pihak yang lain, maka terjadi interaksi sosial yang bersifat
disosiatif karena perbedaan kepentingan antar kelompok. Menurut Soekanto
(1992), interaksi sosial sendiri adalah hubungan timbal-balik antara individu
dengan individu, kelompok dengan kelompok, serta antara individu dengan
kelompok[10].
Pada mulanya, perbedaan kepentingan tersebut melahirkan persaingan antara dua
kelompok yang berkepentingan. Kelompok anti-kebebasan pers yang kepentingannya
terancam, mulai berusaha membatasi pengaruh yang dimiliki oleh kelompok
pro-kebebasan pers. Seiring berjalannya waktu, persaingan yang terjadi kemudian
menjadi memburuk dan melahirkan rasa dendam dan rasa saling tidak percaya
antara dua kelompok tersebut. Hal
tersebut kemudian melahirkan kontravensi. Kontravensi tersebut lambat laun
memburuk dan bereskalasi menjadi konflik. Konflik tersebut dapat menjadi sebuah
konflik tertutup ataupun konflik terbuka.
Salah
satu contoh fenomena pers dilihat dari segi interaksi sosial adalah kasus
permasalahan nasib pers pada masa Orde Baru. Pada awalnya, Pers Nasional (minus
pers pro-PKI dan antek-anteknya) mendapat sokongan dari pemerintah Orde Baru.
Lalu lambat laun, timbul pergesekan antara Pers Nasional dengan pemerintah. Hal
tersebut dibuktikan dengan penutupan enam pemerbitan di Jakarta pada 1971 dan
pemberian larangan terbit kepada harian Sinar Harapan selama beberapa
hari pada 1972. Setelah peristiwa Malari 1974, terjadi pembredelan media massa
secara besar-besaran, antara lain menimpa: Nusantara, Abadi, dan The
Jakarta Times[11]. Rentetan peristiwa
tersebut melukiskan bagaimana hubungan Pers Nasional yang mesra dengan
Pemerintah dari pasca peristiwa G/30/S PKI sampai penutupan media massa secara
masal pasca peristiwa Malari.
Contoh
lainnya yang lebih subtle terdapat pada masa kepemimpinan Presiden
Jokowi sekarang. Pada enam, tujuh bulan awal masa kepemimpinan beliau (Oktober
2014 – April 2015) dipenuhi dengan berbagai kasus yang menyinggung masalah
kebebasan pers, mulai dari soal pencemaran nama baik, sampai soal pemblokiran
situs, seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya di atas. Akan tetapi, selama
sepuluh bulan berikutnya (Mei 2015 – Februari 2016) kasus kebebasan pers mulai
menghilang dari peredaran dan tak lagi masuk headlines media-media
nasional. Headlines media-media nasional sekarang dihiasi dengan soal
revisi UU KPK, penggusuran Kalijodo, Pilkada DKI, dan kasus-kasus lainnya.
Cara
lain yang dapat digunakan adalah melihat fenomena kebebasan pers sebagai sebuah
bentuk perubahan sosial budaya. Teori yang bisa digunakan dalam melihat
fenomena kebebasan pers adalah teori siklus. Teori siklus memandang bahwa semua
masyarakat melalui siklus perubahan, akhirnya akan kembali ke titik awal, lalu
mengulangi siklus yang sama[12].
Contoh riil teori tersebut adalah masalah kebebasan pers di Indonesia. Seperti
yang sudah dijelaskan di atas, pers Indonesia awalnya tertindas pada zaman
kolonial. Pada zaman kemerdekaan, pers Indonesia kembali mendapatkan kebebasan
dengan tema yang diangkat adalah tema seputar perjuangan kemerdekaan.Memasuki
zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, pers Indonesia kembali dibelenggu.
Pers Indonesia kembali bebas ketika masa Reformasi. Pers Indonesia mulai
dicengkram kembali ketika masa Presiden Jokowi. Dari contoh tersebut, terlihat
bahwa kondisi kebebasan pers selalu berganti seperti siklus, kadang ditindas
dan kadang bebas.
Permasalahan
kebebasan pers di Indonesia adalah sebuah permasalahan yang eternal. Selama
masih ada perbedaan kepentingan antara dua pihak yang berlainan maka kebebasan
pers akan menjadi racun bagi pihak anti-kebebasan pers dan pedang bagi
pro-kebebasan pers. Kekuatan antar dua kepentingan tersebut menghasilkan sikap
yang diambil oleh Pemerintah, baik condong kepada anti-kebebasan pers, maupun
condong kepada pro-kebebasan pers. Kecondongan sikap Pemerintah selalu berganti
seperti siklus sesuai dengan kepentingan mana yang paling kuat antara
anti-kebebasan pers dan pro-kebebasan pers.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu
usaha untuk menjembatani perbedaan antara kedua belah pihak. Jika perbedaan di
antara keduanya dapat dijembatani maka pengaruh akan persaingan di antara kedua
belah pihak tersebut dapat diminalisir. Jika siklus dunia pers diibaratkan
sebuah roda besar dengan pihak anti-kebebasan pers di ujung yang satu dan pihak
yang pro-kebebasan pers di ujung yang lain, yang mana semakin besar roda
tersebut maka perbedaan di antara keduanya semakin besar, maka usaha
penjembatanan perbedaan tersebut diharapkan dapat memperkecil roda perbedaan
tersebut.
Usaha
penjembatanan perbedaan antara pihak pro-kebebasan pers dan anti-kebebasan pers
dapat dilakukan melalui dialog kesepahaman. Dengan dialog tersebut maka dapat
dicari apa saja kepentingan pihak pro-kebebasan pers dan kepentingan pihak
anti-kebebasan pers. Jika kepentingan masing-masing pihak dan duduk persoalan
sudah jelas, maka penyelesaian masalah
dapat lebih mudah dilakukan.
Cara
lain yang dapat digunakan adalah dengan membuat sebuah lembaga khusus yang
berhak membuat keputusan mengenai sengketa, baik antar pers maupun antara pers
dengan masyarakat dan Pemerintah. Lembaga khusus tersebut dapat berbentuk
sebuah komite, dewan, komisi, atau mahkamah khusus. Memang, Indonesia sekarang
sudah memiliki dewan pers dan mekanisme pengaturan pers oleh Pemerintah melalui
Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), tetapi lembaga-lembaga tersebut
kurang independen. Bahkan, salah satunya, Kemkominfo, merupakan perpanjangan
tangan Pemerintah. Hal tersebut memungkinkan penyalahgunaan wewenang Kemkominfo
oleh Pemerintah seperti yang terjadi pada Departemen Penerangan pada zaman Orde
Baru[13].
Jika memang dirasa pembentukan lembaga yang sama sekali baru kurang dibutuhkan
dalam menghadapi permasalahan kebebasan pers, maka alternatifnya adalah
penggunaan jalur pengadilan sebagai media ‘penjembatanan perbedaan’ antara
kedua pihak yang lain kepentingan. Akan tetapi penyelesaian melalui pengadilan
beresiko dapat merusak nama baik satu pihak dan bahkan dapat menyebabkan balas
dendam.
Hak
kebebasan pers adalah hak yang di satu pihak amat dirindukan dan diimpikan
sementara di lain pihak amat dibenci dan ditentang. Pihak-pihak yang saling
berseberangan tersebut mempunyai alasan masing-masing. Hal tersebut menimbulkan
pola interaksi sosial disosiatif. Konflik di antara kedua belah pihak terus
berlangsung, seperti yang dikatakan Teori Siklus Masyarakat, dengan pihak
pro-kebebasan pers berkuasa di satu masa dan pihak anti-kebebasan pers berkuasa
di lain masa. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan
tersebut adalah dengan melakukan diskusi, membentuk lembaga khusus, atau
melalui jalur pengadilan. Penyelesaian perbedaan tersebut sangat esensil bagi
kehidupan pers karena jika tidak segera diselesaikan maka masyarakat, khususnya
masyarak pers, akan terjebak dalam lingkaran setan di mana pihak pro-kebebasan
pers dan anti-kebebasan pers akan saling mengatasi dan menindas. Jika
perjuangan kebebasan pers tanpa berusaha mengatasi perbedaan dengan pihak-pihak
yang berlainan kepentingan, maka apakah esensi dari perjuangan kebebasan pers
itu sendiri jika perjuangan kebebasan pers hanya melahirkan permusuhan bukan
perdamaian?
[1]
Smith, David & Luc Torres, Timeline: A History of Free Speech. Ada
pada: <http://www.theguardian.com/media/2006/feb/05/religion.news>. [27 April 2015].
[2]
Smith, David & Luc Torres, Timeline: A History of Free Speech. Ada pada:
<http://www.theguardian.com/media/2006/feb/05/religion.news>. [27
April 2015].
[3]
The Universal Declaration of Human Rights. Ada pada: <http://www.un.org/en/documents/udhr/>.
[27 April 2015].
[4]
Persatuan Wartawan Indonesia: Pengurus Pusat. Undang-Undang Pers Belanda.
Ada pada: < http://www.pwi.or.id/index.php/presspediapwi/806-u-dari-ensiklopedi-pers-indonesia-epi>.
[30 April 2015].
[5]
Tribuana, Said. Persatuan Wartawan Indonesia: Pengurus Pusat. Sekilas
Sejarah Pers Nasional. Ada pada: < http://www.pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-sejarah-pers-nasional>.
[30 April 2015].
[6]
Tribuana, Said. Persatuan Wartawan Indonesia: Pengurus Pusat. Sekilas Sejarah Pers Nasional. Ada pada: < http://www.pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-sejarah-pers-nasional>.
[30 April 2015].
[7]Okezone.com. Kasus Bullying Jokowi Jadi Trending Topik
Nomor 1. Ada pada: < m.okezone.com/read/2014/
10/30/337/1058714/kasus-bullying-jokowi-jadi-trending-topik-nomor-1>.
[30 April 2015].
[8]
Detik.com. Ini Alasan BNPT Usulkan
Pemblokiran 22 Situs yang Dianggap Radikal. Ada pada: <http://news.detik.com/read/2015/03/31/105311/2874495/10/ini-alasan-bnpt-usulkan-pemblokiran-22-situs-yang-dianggap-radikal?nd771104bcj>.
[30 April 2015].
[9]
The Jakarta Post. We Do Not Promote Islamic Radicalism, Says Blocked Islamic
Sites. Ada pada: <http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/31/we-do-not-promote-radicalism-say-blocked-islamic-sites.html.>.
[30 April 2015].
[10]
Soekanto, Soerjono 1992, Memperkenalkan Sosiologi: Cetakan Keempat, CV
Rajawali, Jakarta. Hal. 16.
[11]
Tribuana, Said. Persatuan Wartawan Indonesia: Pengurus Pusat. Sekilas Sejarah Pers Nasional. Ada pada: <
http://www.pwi.or.id/index.php/sejarah/770-sekilas-sejarah-pers-nasional>.
[30 April 2015].
[12]
Martono, Nanang, 2012, Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern,
Posmodern, dan Poskolonial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 34.
[13]
Heryanto, Gun Gun. Depkominfo, Reinkarnasi Departemen Penerangan?. Sinar
Harapan. Ada pada: <http://www.sinarharapan.co.id/berita/0502/19/opi02.html>.
[30 April 2015].